Langsung ke konten utama

Antara Kebahagiaan dan Kemuliaan

Assalamu'alaykum Wr.Wb :)

Sedikit membebaskan diri dari kesibukan Ujian Akhir Semester yang sedang berlangsung, kali ini Nindy akan menulis sesuatu dalam rangka mengikuti Lomba Blog yang bertemakan "Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan di Indonesia", dan saya mengambil sub-tema "Paradigma dokter Indonesia : antara usaha balik modal dan pengabdian"
Kiranya dapat bermanfaat untuk semua pembaca!

-Menulis yang berbeda, dalam testimoni dan harapan seorang pemudi-

Seperti yang kita ketahui, bahwa pada tanggal 27 November 2013 lalu, digelar aksi mogok dokter secara serentak di seluruh Indonesia. Walaupun tidak semua dokter mengikutinya, namun sebagian besar dari mereka turut andil dalam kegiatan ini. Hal ini dilakukan sebagai aksi solidaritas mereka menolak kriminalisasi yang menimpa dr. Ayu, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendry Siagian karena dianggap melakukan malpraktik.

Aksi ini tentu menimbulkan pro-kontra di berbagai lapisan masyarakat. Saya, adalah salah satu yang berada di pihak kontra. Sebagai seorang remaja yang masih berstatus sebagai pelajar kelas 12, mungkin saya memang belum begitu paham akan seluk-beluk dunia kerja, tanggung-jawab dan solidaritas antar sesama profesi. Jelas, saya belum menempuh masa itu dan tidak memiliki pengalaman. Tapi bila dibandingkan dengan kehidupan sekolah, tetap ada kesamaan dalam masalah ini, karena pelajar adalah profesi, dan dalam menjalankannya juga merupakan salah satu penggambaran awal atau sebagai batu loncatan sebelum mengerti bagaimanakah dunia kerja yang sesungguhnya. Saya pun mempunyai tugas, tanggung jawab, dan merasakan solidaritas antar teman. 

Jadi, saya memiliki alasan mengapa saya tidak setuju akan aksi tersebut. Saya merasa prihatin karena bentuk solidaritas yang mereka tumpahkan justru merugikan rakyat banyak. Di satu sisi, sumpah dokter terlaksana untuk tidak menjatuhkan teman sejawat, namun di sisi lain mereka juga melanggar sumpah dengan menelantarkan para pasien yang membutuhkan perawatan dan pelayanan.
Beberapa poin dari sumpah dokter (saya kutip dari Wikipedia) yang menurut saya sangat terkait adalah sebagai berikut :

"Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin diperlakukan"
Disini terlihat bahwa para dokter harus menjunjung tinggi solidaritas terhadap teman sejawat.

"Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan"
"Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan"
"Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial."
Sedangkan disini, terlihat jelas bahwa mereka para dokter harus membaktikan diri dengan sungguh-sungguh untuk menolong para pasiennya dan tersirat pula harus mengutamakan kesehatan pasien.

Lalu, mana yang harus dibela?
Teman atau pasien?
Sebagai dokter yang baik, mungkin harus keduanya.

Namun bukankah ada sekat yang membatasi keduanya? Sehingga tidak mungkin dalam setiap kesempatan kita bisa menyeimbangkannya, pasti sulit sekali. Sama seperti kehidupan sekolah. Penggambaran sederhananya mungkin seperti ini.

Misalnya, menganalogikan teman dokter sebagai teman dekat, dan menganalogikan pasien sebagai seorang teman biasa.

Adalah suatu hal yang lumrah, bila kita lebih mendukung dan mempercayai sahabat kita dibanding teman yang biasa saja. Tapi akan menjadi suatu dilema bukan, jika kita harus memilih, apakah harus membela dan mengikuti sahabat melakukan hal yang salah, dan menyepelekan teman lain melakukan hal yang benar? Terkadang, otak kita tetap memaksa untuk membela teman yang dekat saja, walaupun hati sebenarnya tahu bahwa yang baik lah yang harus diperjuangkan.

Menyontek. Jaman sekarang, menyontek bukanlah hal memalukan bagi sebagian siswa di sekolah. Beberapa dari mereka yang terbukti bersalah bisa saja dihukum oleh guru. Namun herannya, terkadang kesalahan tersebut dipandang sepele oleh yang lain, sebagai contoh teman-teman dekatnya. Hanya karena gengsi dan bentuk solidaritas, untuk hal yang tidak benar pun mereka rela berbuat demikian bahkan mengikutinya. Sebaliknya, teman yang tidak menyontek akan diolok-olok dengan kata-kata, "ngga gaul", "sok pinter", "sombong", dan sebagainya. Padahal apa untungnya melakukan hal tersebut? Orang yang tidak bersalah ikut dirugikan.

Malpraktik. Jika memang para dokter tersebut di atas terbukti melakukan kesalahan, salahkah jika penegakan hukum tidak dilaksanakan? Menurut saya, akan berbahaya jika tidak ada penindaklanjutan. Untuk ringan-beratnya hukuman, jika memang ada kesalahan prosedur ataupun sebaliknya, pasti akan ditimbang ulang. Menkes pun sudah turun tangan untuk meminta peninjauan ulang kasus tersebut. Lalu untuk apa para dokter lain turut ikut campur dengan menunjukkan solidaritas yang saya katakan tidak logis, yaitu melakukan aksi mogok? Akankah menguntungkan mereka? Lagi, orang yang tidak bersalah jadi dirugikan, yaitu pasien. 

Membela yang salah. Mental orang Indonesia. Mau menyalahkan siapa? Serba salah.
Sejak pemerintahan jaman dahulu terutama pada masa Orde Baru memang budaya korupsi sudah mengakar kemana-mana, maka tidak akan heran jika sampai sekarang terus merambat ke segala aspek kehidupan.

BUKAN SOLIDARITAS SEPERTI INI YANG KITA BUTUHKAN, KAWAN .....

Saya sadar di posisi yang sekarang, saya tidak berhak menilai dan menghakimi kecurangan yang ada di depan mata saya. Saya percaya pada dasarnya semua manusia berhati mulia, tidak pernah ada niat dari mereka untuk berbuat buruk jika tidak ada pengaruh lain. Saya tahu saya punya banyak kesalahan, untuk itu saya bersikap biasa saja dan cukup menyerahkan semua ini pada guru-guru atau siapapun yang lebih berhak untuk menghakimi. Namun begitu saya tetap berusaha mengingatkan bahwa dengan kejujuran dan usaha sendiri adalah yang terpenting. Masalah dituruti atau tidak, adalah pilihan hidup masing-masing. Ini salah satu bentuk solidaritas saya, yang saya pikir imbang ke pihak manapun.
Terkesan pasrah? Tidak.
Satu prinsip saya simpel saja :  Lebih baik fokus berbuat kebaikan dibanding mengurusi masalah orang lain, ketika ada pihak yang lebih berhak mengurusi.
Untuk itu, sungguh saya menyesali aksi mogok dokter yang telah terjadi karena tidak ada manfaatnya bagi mereka, dan pasien terlantar dimana-mana yang seharusnya mereka tolong...

Balik modal? Atau pengabdian?
Kebahagiaan? Atau kemuliaan?

Dokter adalah profesi yang sangat mulia dan didambakan banyak orang. Tidak hanya sekedar cerdas dan berjiwa sosial, tapi ketulusan dalam pengabdian adalah faktor utama ketika seseorang memutuskan untuk menjadi dokter. Mengapa? Karena sangat erat tanggungjawab mereka terhadap kesehatan dan kehidupan masyarakat umum. Nyawa pun bisa menjadi taruhannya. Kasus yang sudah dibahas di atas juga sangat berhubungan dengan topik ini.
Tapi apa sebenarnya tujuan orang sekarang untuk menjadi dokter?

1. "Biayanya besar untuk kuliah di Fakultas Kedokteran..."
   "Nanti semua juga terganti malah lebih setelah jadi dokter, yang penting kuliah dulu."

2. "Siapa sih yang ngga mau masuk FK? Ngga coba masuk situ aja? Udah kejamin banget deh kayanya hidup lo kalo berhasil masuk sana."

3. "FK? Gila, ga kebayang dah cowo-cowonya, udah ganteng, pinter, calon orang kaya. Bahagia banget kali ya punya suami dokter!"

Kalimat itu seringkali terdengar di telinga saya, terutama beberapa bulan belakangan  karena sebentar lagi akan memasuki dunia perkuliahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak paradigma yang mengatakan, menjadi dokter akan terjamin sukses, kaya raya, dan tidak akan sengsara bila sudah berkeluarga nanti, sebab dengan gaji yang besar dan tenaganya yang pasti dibutuhkan dimanapun maka kecil kemungkinan untuk menganggur. Mengingat dewasa ini segala kebutuhan semakin mahal, paradigma itu semakin menguat.

3 kalimat di atas tentu tidak mewakili keseluruhan pendapat masyarakat tentang dunia kedokteran, dan bisa dikatakan baru dari satu sudut pandang saja, dan kebanyakan yang berkata seperti itu adalah remaja. Ini yang membuat saya sedih, bagaimanapun juga, pengaruh dan pendapat orang lain bisa saja mengubah pola pikir seseorang. Saya khawatir jika paradigma itu mengakar kemana-mana.

Rasanya sangat sedih bila sering menemukan berita-berita dokter yang malpraktik. Mungkinkah dulunya sebagian dari mereka pernah berfikir seperti itu atau memang kekhilafan belaka? Hanya Allah yang tahu. Wajar memang bila dalam bekerja kita melakukan kesalahan. Tapi ada suatu pengalaman yang membuat saya sempat kecewa dengan penanganan dokter, yang selanjutnya menimbulkan kecurigaan.

Sewaktu saya duduk di kelas 7 SMP, saya pernah dirawat di rumah sakit karena alergi. Waktu itu saya memaksakan diri untuk ikut Study Tour dalam keadaan sakit dan akhirnya dengan kondisi fisik yang lemah, sepulang dari kegiatan tersebut kondisi semakin drop. Alhasil terpaksa saya menjalani opname di Rumah Sakit X di Depok selama kurang lebih seminggu.

Selama perawatan itu, tentu ada doctor visit. Dokter yang menangani saya adalah dokter spesialis anak. Beberapa waktu setelah kunjungan pertama, ibu berkata pada ayah, bahwa dokter mengatakan ada infeksi lambung dan infeksi saluran kemih yang cukup berbahaya bila dibiarkan, dan Ia menganjurkan ibu saya untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan lanjut dan menyarankan beberapa macam obat. Ia berkesimpulan demikian karena pada tes pertama, kadar asam urat saya tidak berada dalam rentang normal namun hanya berselisih nol koma sekian dari batas tersebut. Untuk penanganan lebih lanjut itu, biayanya diatas setengah juta dan tentu sangat memberatkan.

Ibu saya bersikeras bahwa saya hanya menderita alergi karena timbul kaligata, dan infeksi lambung pun hanya disebabkan telat makan karena saya benar-benar tidak nafsu makan pada saat itu. Namun dokter tersebut juga bersikeras bahwa memang seperti itulah keadaan saya, Ia pun berkata "Saya tidak akan bertanggungjawab jika terjadi apa-apa dan resiko ditanggung ibu". 

Ibu saya kaget mendengar jawaban seperti itu. Belum pernah sebelumnya seorang dokter berani berkata sedemikian dan tidak sopan. Karena tidak ingin melanjutkan masalah, akhirnya disudahi saja percakapan itu. Selanjutnya, orangtua saya berusaha mencari tahu dengan bertanya kepada dokter umum lain, dan juga paman saya yang berprofesi sebagai dokter kandungan. Mereka mengatakan, hasil tes seperti itu cukup diabaikan saja, karena sangat beda tipis dengan batas normal, bahkan malah berbahaya jika dilakukan penanganan lain yang bisa berimbas dengan kesehatan saya. Logikanya, seseorang yang sehat namun diberikan obat yang tidak sesuai tentu akan merusak organ dalam. Paman saya hanya menyarankan untuk banyak minum air putih diimbangi dengan makanan sehat lainnya selama perawatan.

Ya, untungnya, orangtua saya tidak mudah tergoyah. Mendengar saran di atas, maka orangtua memutuskan untuk menolak dilakukan penanganan lebih lanjut. Benar saja, saya memang hanya menderita alergi dan gejala maag tanpa ada infeksi saluran kemih sedikit pun, karena setelah rutin mengonsumsi minuman, makanan dan obat-obat tertentu kondisi kian memulih. Bahkan setelah kejadian ini, saya sempat merasa kapok masuk rumah sakit karena sesungguhnya lebih baik menjaga diri sendiri dan mencegah penyakit.

Bukan hanya itu, hal yang turut mengherankan adalah ketika sepupu saya dirawat di rumah sakit X di Jakarta karena menderita DBD selama seminggu dan tagihannya mencapai belasan juta rupiah. Angka yang cukup fantastis. Padahal, pernah ayah dan kakak saya dirawat bersamaan karena DBD dalam rentang waktu yang relatif sama, tapi tidak semahal sepupu saya. Jika membandingkan fasilitas dan pelayanan pun, tidak begitu berbeda jauh, entah ada apa di balik semua ini.

Setelah pengalaman masa lalu, termasuk sampai sekarang, saya sering mencari-cari info dan kasus lain baik dari media cetak dan elektronik. Ya, dokter memang menerima uang jasa dari apotek dan tentu rumah sakit, bentuk dan nominalnya pun beragam. Tapi tidak semua dokter mau menerima uang jasa yang diada-adakan karena akan melambungkan harga obat dan bila orang-orang sudah mengetahui kebiasaan dokter meresepkan obat yang mahal tentu akan membuat dokter tidak laris. Namun keadaan ini bisa menjadi salah satu latar belakang mahalnya obat dan pelayanan rumah sakit karena apoteker ataupun manajemen rumah sakit bisa meninggikan harga pelayanan. Sumber-sumber informasi ini banyak saya dapatkan dari internet, antara lain dari Forum SainsTribunnewsSuara Pembaruan, dan masih banyak lagi.

Fenomena di atas juga merupakan konsep solidaritas yang salah. Bekerja sama untuk mendapat uang yang banyak, tapi menimbulkan penderitaan.

Menilik kasus tersebut, maka pengabdian ataukah harta yang selama ini diincar?


Dengan masalah serupa yang sering terjadi, apakah rakyat kecil atau menengah ke bawah dilarang mendapat pelayanan kesehatan yang maksimal? Dilarang sakit? Kita tahu bahwa angka kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi. Prosentase kemiskinan di Indonesia adalah 15,1% di tahun 1990, sedangkan mencapai 11,37% di 2013. Padahal, ditargetkan pada tahun 2015 prosentase tersebut harus berada di bawah 7,55%. (Sumber : Sindo & Antara). Walaupun terjadi perkembangan, tetap tidak bisa dipandang remeh sebab kehidupan akan semakin sulit di masa mendatang.
Ya, taraf kehidupan masyarakat Indonesia masih banyak yang dibawah standar. Padahal hal itu bisa menjadi faktor utama penentuan kemakmuran negara. Jika masalah ini terus-menerus membayangi kita, mungkin mustahil untuk mencapai kesejahteraan. Ditambah banyaknya praktek KKN yang memakan uang rakyat, dan kita tahu bahwa uang rakyat itu adalah bagian dari subsidi untuk bidang kesehatan dan pelayanan masyarakat.

Jika saya diberi kesempatan untuk menjadi dokter, jujur saja saya tidak akan munafik, dan akan menjawab keduanya sangat penting. Tapi, tidak untuk memberatkan masyarakat seperti kasus-kasus yang sudah terjadi, apalagi dengan jalan yang tidak dibenarkan. Saya sangat menginginkan dokter-dokter seperti Lo Siaw Ging lah yang banyak lahir di Indonesia. Kita tahu bahwa setelah aksi mogok dokter, muncul pula berita tentang beliau yang mana tidak pernah meminta bayaran oleh pasiennya. Inilah yang bisa menjadi contoh untuk generasi emas di masa mendatang bahwa paradigma untuk mengabdi yang harus diutamakan. Negeri akan hancur jika penerusnya melanjutkan kebiasaan buruk dan menerapkan pola pikir yang salah, sebab tentu akan diwariskan pula pada keturunannya jika tidak ada lingkungan pergaulan dan naungan yang benar di sekelilingnya.

Paradigma dokter Indonesia, antara usaha balik modal dan pengabdian.
Semua hal di dunia diciptakan berpasang-pasangan.
Pria-wanita, siang-malam, baik-buruk.
Hidup adalah pilihan, kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang saling terkait, setiap manusia pasti memiliki kedua sisi tersebut. 

Namun, pernahkah kamu membayangkan jika kamu menjadi alasan kerinduan dan menjadi kenangan banyak orang di saat kita telah tiada? Cukup diawali dari profesi yang mulia. Kita membantu, kita menolong, kita mengabdi untuk mereka semua dengan tulus... 
Di saat itu, akan banyak yang berkata, "Aku ingin seperti dia"
Menjadi panutan banyak insan, dan menggugah semangat mereka...

Bahagia belum tentu mulia, sedangkan mulia sudah pasti bahagia.

Kebahagiaan di dunia hanya sementara,
Kebahagiaan di akhirat bertahan selamanya.
Akhir kata, saya mengharapkan paradigma yang sesuai untuk dokter-dokter di Indonesia adalah :

"DEDICATION" 
Which is also means :


Seorang dokter, kiranya tidak hanya menolong dan mengobati pasien. Hendaknya mereka juga dapat menjadi panutan dengan mengedukasi, menginspirasi, dan tunjukkan kepedulian yang tulus kepada masyarakat untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan!

There's a hero lies in you, doctor :')

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog "Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan di Indonesia" yang diadakan oleh Forum Peduli Kesehatan Rakyat / http://blogfpkr.wordpress.com/

Komentar

  1. Jangan berhenti untuk terus berkarya, semoga

    kesuksesan senantiasa menyertai kita semua.
    keep update! mobil banjir

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih kembali sudah membaca dan memberi dukungan :)
      Sukses selalu!

      Hapus

Posting Komentar