Langsung ke konten utama

Kesetiaan dalam Pengorbanan

Halo blogger! Kali ini, gue akan ngepost tentang cerpen yang gue buat untuk Lomba Intern JAKMEFI di Smanti.
Ini cerita remake dari Pengorbanan yang Mengoyak yang sebelumnya pernah gue post, tapi karena ada lomba itu jadi diapus dan diganti yang ini deh.
Selamat membaca !

 “Dia cerita tentang keluarga yang penuh cinta, Kak. Semua saling menyayangi. Tapi sayang adik perempuan dalam cerita itu meninggal karena menyelamatkan kakaknya yang gagal ginjal, padahal adiknya itu juga tidak sehat, dia bilang dia rela karena mimpi dan cita-cita kakaknya lebih besar untuk hidup dibanding dia, dan cinta pada kakaknya juga begitu besar. Wah seru deh kak, tapi aku hampir menangis juga. Dan dia berpesan, jangan pernah abaikan cinta yang tulus datang padamu, “
            Ucapan gadis kecil yang kutemui di panti asuhan saat itu kembali terngiang di pikiranku. Ya, aku sungguh menyesal, firasatku burukku setelah mendengarnya ternyata benar. Inez pernah berkata dia sudah mengganggapku sebagai kakaknya. Dia pun pernah berkata, rela mengorbankan apa saja, untukku sahabatnya, untuk membantuku menjadi seorang penulis yang handal. Sedangkan dia sendiri tidak punya tujuan hidup yang jelas, tidak ada cita-cita yang jelas. 1 keinginan dia, hanya membahagiakanku dan orangtuanya. Ya, hanya itu. Sedikit tapi besar maknanya bagiku.
            “Mia, aku sungguh beruntung mempunyai sahabat sepertimu. Maafkan segala kekhilafanku dan semua sifat egoisku. Aku tahu aku banyak berhutang budi padamu. Aku juga ingin menitipkan Danil padamu, lanjutkanlah, aku tak berharap apa-apa padanya, aku hanya jujur tentang perasaanku karena aku tidak ingin menjadi teman yang munafik, yang berbohong pada sahabat sendiri. Katakan padanya pesanku ini, jangan abaikan cinta yang tulus datang padamu. Aku hanya ingin melihat kalian berdua bahagia. Mulai besok, aku sudah tidak pergi ke sekolah karena aku mendapat beasiswa menimba ilmu di Perancis. Tentu aku sudah mengurus semua dan memohon banyak pihak untuk tidak memberitahukan dulu. Maaf Mia, ini mendadak, tapi aku tidak mau menyakiti perasaanmu. Tunggu aku, suatu saat aku akan kembali, jangan pernah lupakan aku Mia. Sampaikan salam dan isi suratku ini pada Danil dan teman-teman lain, aku sayang kalian semua...”
Ini surat yang dikirimkan ke rumahku sebelum keberangkatannya. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku kehilangan harta yang begitu besar. Aku tidak kuat menahan tangis, dan ternyata inilah arti dari semua kejujuran Inez. Inez jujur berkata padaku bahwa dia menyukai Danil, seseorang yang juga kusukai sejak dulu. Baru kusadari bahwa ini semua dia lakukan agar tidak terkesan dia mengkhianatiku jika suatu saat aku pun tahu dari orang lain. Astaghfirullah, mengapa aku menghabiskan saat-saat terakhir bersamanya dengan sikap yang buruk.
Aku mendiamkannya berhari-hari setelah dia mengatakan itu, dan aku baru meminta maaf ketika kami berdua mengadakan kunjungan panti asuhan bersama dari baksos universitas kami. Bahkan, itupun setelah ku mendengar pernyataan dari seorang gadis kecil. Inez, maaf, aku benar-benar manusia terbodoh...
              “Mia, akhir-akhir ini mama sering melihat kamu melamun. Ada apa sayang? Kamu merasa kehilangan Inez? Coba cerita sama mama,” tanya mama.
              “Iya Ma. Sama seperti yang Mia ceritakan dulu, Mia benar-benar merasa bersalah. Kalau mama mengijinkan, biarkan Mia melihat dia di Perancis ya liburan nanti,” pintaku memohon hal yang sama. Ya, aku sudah pernah memintanya.
              Dan seperti yang kuduga, mama mengernyitkan dahi. “Mia, sudah Mama bilang Perancis itu luas, sedangkan kamu tidak tahu menahu tentang alamat dia, bahkan tempat kuliahnya pun dia rahasiakan, bagaimana kamu bisa menemuinya?”
              “Mama, Danil sudah tahu. Danil bilang sekarang Inez kuliah di Universitas Paris Pantheon-Sorbonne. Danil kan, anak teladan, walaupun Inez merahasiakan tetap saja pengurus beasiswa dan dosen-dosen tidak akan sampai hati untuk tidak memberi tahu Danil. Lagipula banyak yang tahu mereka dekat karena dulu sering lomba bareng, ya, terkenal sekali, ” jawabku pasti.
              Mama menghela nafas, tentu pada akhirnya mama akan mengabulkan permohonanku. “Ya sudah, terserah kamu, lalu, selanjutnya?”
              “Aku juga sudah meminta tolong sama Om Ardi, kan Mama bilang dia ada dinas ke Perancis pas waktunya dengan liburanku, dan kebetulan Tante Astri dengan Chika tidak jadi ikut, jadi tiketnya biar Aku dan Danil yang ambil. Tenang ma, kami berdua membayar dengan tabungan sendiri kok,” jawabku meyakinkan mama.
              “Hahaha, tidak perlu sayang, biar Mama yang ganti semua biayanya. Baiklah, kamu boleh pergi,” akhirnya mama mengijinkan.
              “Yay, makasih mama! Mia janji akan jaga diri baik-baik!” segera aku memeluk mama atas bentuk terima kasihku.
              2 minggu berlalu akhirnya sampailah masa liburanku. Benar-benar waktu yang sangat kutunggu, menemui Inez dan kembali meminta maaf. Aku tahu aku begitu menyakitinya, dan mungkin ada rasa kecewa dalam dirinya mempunyai sahabat yang egois sepertiku.
              Sebelum pergi, aku dan Danil menyempatkan diri pergi ke rumah Tante Indah, mama Inez. Kami begitu dekat, bahkan sering sharing bareng. Aku pergi kesini tentu karena ingin menyampaikan kabar gembira dengan rencanaku yang akan menyusul Inez. Tapi alasan utamaku, Tante Indah sering sakit semenjak ditinggal Inez, sekalipun tidak parah. Sungguh menyedihkan keluarga sahabatku ini, maka aku ingin memberi semangat pada Tante Indah. Benar saja, beliau memintaku agar sepulang dari Perancis aku bisa membawakannya sebuah benda yang Inez bilang akan menjadi pengobat rindu bagi ibunda tercintanya itu.
              Sungguh kisah yang menyayat
              Tapi cinta menyatukan mereka
              Dengan hati dan jiwa yang tulus
              Tanpa terhalang oleh ruang dan waktu
              Akhirnya tibalah saatnya aku menginjakkan kaki di kota Paris. Aku sungguh beruntung memiliki paman yang setiap tahun pergi dinas ke negeri orang yang berbeda-beda. Eits, bukannya sombong. Tapi dengan hal ini, aku bisa banyak belajar dan inilah perjalanan yang paling ku nantikan. It’s because my best friend.
            Kami menginap di Hotel Concorde La Fayette, salah satu hotel terbesar di Paris. Waw, takjub melihatnya. Hahaha, maklum belum pernah melihat hotel sebesar ini. Kemudian kami segera memesan kamar. Ketika kami memesan, pegawai hotel itu bertanya dalam bahasa Inggris.
            “Are you Indonesian?” tanyanya.
            “Yes, we are. How do you know it?” jawab Danil.
            “Just guessing. Coz there is a girl from Indonesia who is well known with her novel. Such an unbelievable thing, it’s so surprised her. Her friend sent her story to a publishing house without her permission. And then, the director said that the story was very touching and told the editor to process it to a book. Just in 3 months, her book become best seller. Her appearance is looks like you!” , ucapnya sambil menunjukku.
            Apa, mirip? Jangan-jangan Inez. Kami berdua memang sering dibilang mirip.
            “Is she studying in Univeristy of Paris? What is her name?” tanyaku.
            “Yes, yes! But I forget her name. Is she your friend?”
            “Jangan beritahu,” Om Ardi segera berbisik. “Agar tiada orang yang memberitahu, nanti Inez sulit ditemukan jika tahu kita sedang mencari,” tambahnya.
            “We don’t know her, but do you know where we can find her?” tanyaku.
            “Her apartment is about 300 meter in the west of the university. But people said that she liked to sit in the fountain in the front of university at the evening.”
            “Okay, thank you very much!” aku mengakhiri perbincangan.
            Kami bertiga sungguh kaget mendengarnya. Di Indonesia kami tidak tahu menahu tentangnya, tapi disini dia begitu terkenal. Aku bingung, cerita apa yang dia tulis sampai bisa langsung menjadi novel. Tapi aku ingat sekilas, dia selalu membawa diary yang aku pun tidak boleh tahu isinya. Dia berkata jika tulisannya sudah selesai baru dia akan memperlihatkan, apakah benar yang itu? Tidak sabar menemuinya, namun sayang lelah yang menimpa selama perjalanan membuat kami harus segera beristirahat dan menunggu esok hari untuk mencarinya.
            Keesokan harinya, kami bertiga bisa bersama mencari karena belum ada jadwal dinas Om Ardi. Perjalanan dari hotel ke universitasnya memakan waktu yang cukup lama, tapi aku bahagia karena bisa mendapat kesempatan menikmati keindahan kota Paris ini. Berbeda sekali dengan Indonesia yang macet, masih kurang terawat, karena masyarakat yang kurang kesadaran.
            “Mi, Mia, lihat itu Inez!” teriak Danil membuyarkan lamunanku. Apa? Inez? Semudah itukah kami menemukannya? Segera kualihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Danil. Dan, benar, ya itu sahabatku. Aku menitikkan air mata, terharu bisa melihat dirinya sekarang. Penampilannya tetap sama, tetap ramah dengan siapa saja, dan aku salut akan keberhasilan besarnya sehingga dia disegani masyarakat.
            Kami tidak langsung menghampirinya, tapi hanya memperhatikan dia dari dalam taksi. Hingga akhirnya dia sudah sendiri dan sepertinya ingin berjalan menuju apartemennya, aku tidak bisa menahan diri dan segera memeluknya dari belakang.
            “Inez! Maafkan aku!” dekapku sehingga membuatnya kaget.
            “Mia, kenapa ada di sini? Ya ampun, dengan siapa,” tanyanya tapi belum selesai, dia melihat ke sekitar dan dilihatnya ada Danil. Aku tahu dia masih mempunyai perasaan yang dulu. Namun entah mengapa Danil sangat polos sehingga tidak pernah merasakan rasa sukaku maupun Inez kepadanya, aneh.
            Kami semua akhirnya menangis. Kugenggam selalu tangannya, dan saling bercerita. Aku merasa dia seperti sudah melupakan kesalahanku, sebab selalu mengalihkan pembicaraan saat aku ingin berbicara masa lalu. Apa takut Danil curiga? Entahlah...
            “Bagaimana bisa kamu jadi terkenal sekarang Inez? Apa yang kamu tulis? Lihat dong, “ pintaku sambil tertawa.
            “Hahaha, iya, aku masih menyimpan 3 buku di apartemen. Nanti 2 buat kalian dan 1 lagi tolong berikan pada mamaku ya. Aduh, entah aku kapan pulang, besok aku harus pergi ke Inggris, kalian berdua kenapa tidak bilang mau kesini,” jawabnya.
            “Eh, ke Inggris?! Untuk apa?” Danil langsung bertanya.
            “Iya. Bersama 2 kawanku aku ditunjuk untuk mewakili universitas dalam lomba menjadi motivator. Yah, mulai besok sudah pergi karena dikarantina dulu, jadi tidak bisa menemani kalian,” ucapnya dengan raut wajah yang sedih.
            “Oh, ya sudah tidak masalah, kamu kepinteran sih hahaha,” candaku.
            Sedih sekali. Ternyata hanya sebentar waktuku untuk bersamanya. Tapi bagaimanapun juga, aku tetap bersyukur kepada Allah yang sudah memberi kesempatan emas. Bahkan untuk menemukannya  tidak ada kesulitan. Di waktu yang sempit ini, kami banyak menghabiskannya dengan bercanda, ya, rindu sekali dimana kami bertiga selalu bersama sejak SD hingga sekarang. Dan aku semakin malu dengan diriku, sikap Inez begitu dewasa, dia sama sekali tidak mempermasalahkan masa lalu lagi. Kini dia terkesan mendekatkanku dengan Danil.
            Setelah itu kami bertiga pergi mengelilingi tempat di sekitar apartemen sementara Om Ardi bertemu dengan rekan kerjanya. Berbeda dengan dulu, aku seperti berjalan dengan artis. Beberapa orang yang kami temui selalu menyapa Inez dan dia menjawabnya dengan senyum yang manis. Hidupnya berubah, tapi hatinya selalu yang dulu, sungguh dia mengajarkanku sebuah cinta yang indah. Aku mengira sifatnya akan berubah setelah terkenal, tapi ternyata aku salah.
            Puas berkeliling, akhirnya aku diajak ke apartemen tempat Inez menginap. Lalu dia memberikan 3 novelnya seperti janji sebelumnya. Judulnya France with Love.
            “Sebenarnya cerita ini tak kuberi judul, seperti yang kamu tahu aku hanya asal menulis di diary, hehehe. Tapi karena temanku iseng mengirimnya tanpa sepengetahuanku, jadi aku memberi judul seperti yang kurasakan saja, tanpa berfikir,” tegasnya.
            “Oh, jadi benar ini dari buku diary yang bertahun-tahun kamu tulis?”
            “Ya Mia. Ini kejutan untukmu. Tapi aku harap kamu mengerti apa yang kucurahkan, jangan marah, ya,” lanjutnya.
            Aku tertegun. Mungkinkah isinya tentang pengalaman yang lalu itu. Tapi karena sudah malam, aku dan Danil segera pamit dan kembali ke hotel. Sebelum berpisah kami kembali berpelukan, dengan penuh harap bisa bersama Inez lagi di lain waktu. Detik demi detik yang berlalu dengan cepat ini akhirnya kembali memisahkanku dengan sahabat terbaikku.
            Untuk mengisi waktu liburanku selama di Perancis tidak banyak yang kulakukan selain membaca novel dari Inez. Tahukah apa isinya? Sesuai dugaanku. Dia bercerita tentang pengalaman hidupnya, termasuk kisahku dengan Danil. Memang dia menggambarkannya dengan nama lain tapi aku tahu semua itu tentangnya.
            Dari novel ini aku banyak mengetahui misteri dan rahasia Inez. Setiap kalimat yang dia tuliskan mempunyai makna, entah bagaimana dia bisa merangkai kata seindah itu. Aku sangat salut dengan ceritanya saat dia ingin membahagiakan sang bunda setelah ditinggal ayahnya. Cita-citanya luhur dan mungkin kini dia sudah menggapainya, tinggal menunggu dia pulang untuk mempersembahkan keberhasilan pada ibundanya. Atau bahkan, dia bisa terkenal di seluruh dunia dalam waktu singkat.
            “Hmm, kok mirip ya,” tiba-tiba Danil berbicara sendiri. Dia juga membaca novel itu.
            “Mirip apa?” tanyaku penasaran.
            “Hahaha, ngga. Ingat waktu gue nyatain perasaan ke dia eh ditolak, sama persis kaya di buku ini,” ucapnya sambil tertawa.
            “Eh?! Gimana ceritanya itu, ceritain dong!” aku langsung heboh.
            Aku salah. Kupikir Danil itu polos. Ternyata dia sudah pernah menyatakan perasaannya pada Inez. Satu hal yang membuatku pilu, adalah alasan menolaknya adalah dia berkata ada temannya yang mengagumi Danil sehingga dia mau mengalah. Persis pula seperti yang tertulis di novel ini. Awalnya kupikir sedikit ada perbedaan ketika tokoh laki-laki dalam novel ini melakukan apa yang dilakukan Danil. Ternyata ini murni kehidupan dia...
            “Kira-kira siapa ya cewe itu?” tanya Danil lagi.
            Aku hanya tertawa. Dia tidak tahu itu adalah aku. Tapi aku sudah berjanji dalam hati, tidak akan merebutnya. Ketika Inez sudah kembali ke Indonesia, aku akan mempersatukan mereka. Aku ingin melihatnya bahagia, tidak lupa dengan keluarga kecilnya dengan mama tercinta. Pasti mamanya bangga jika membaca novel ini. Apalagi melihat pesan yang terkandung.

There’s no success without sacrifice. I am searching for love in France, and I will give it all to my lovely mother and my best friends in Indonesia someday...


Komentar