Langsung ke konten utama

Komunikasi sebagai Landasan Pendidikan Keluarga di Era Kekinian

"Viral", adalah salah satu kata yang mungkin menjadi banyak impian anak-anak yang lahir di Generasi Z dan Generasi Alpha. Ya, siapa yang tidak familiar dengan istilah yang baru saja tenar tersebut? Menurut KBBI, arti viral adalah "bersifat menyebar luas dan cepat seperti virus". Sama seperti yang dipahami oleh orang awam, kita mengenal viral sebagai sesuatu atau seseorang yang mendadak populer, dimana beritanya sangat cepat menyebar khususnya di media sosial, entah berupa hal negatif maupun positif. Sayangnya, banyak anak di bawah umur maupun remaja yang viral bukan karena prestasinya, namun karena sikapnya yang tak patut dicontoh.


Pertanyaannya,
"Apakah orangtua sudah melibatkan diri dalam proses tumbuh kembang anak? Ataukah membebaskan segala doktrin masuk ke dalam pikiran mereka tanpa batasan?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita telaah terlebih dahulu akar permasalahan utama yang sebenarnya sedang terjadi. Kita tahu bahwa generasi di era kekinian rentan akan informasi buruk yang merajalela dengan mudah melalui internet. Secara akal sehat, tidak ada yang salah dengan perkembangan teknologi, karena hal ini akan berkembang terus-menerus menjadi lebih canggih dan kompleks dari masa ke masa.

Tantangan ini jelas tidak bisa dicegah dan dihindari.

Lantas, siapa yang bertanggungjawab atas hal itu? Manusia. Manusia yang menemukan, manusia juga yang menggunakan. Manusia-lah yang harus mampu beradaptasi dan bijak dalam memanfaatkan teknologi, memilih mana yang selayaknya membawa dampak positif dan menghindari mana yang membawa dampak negatif, mengingat kebudayaan seluruh dunia telah bercampur aduk tanpa garis batas sedikit pun.

Kondisi ini menjadi sorotan utama bagi para orangtua yang sudah memiliki anak. Mendidik dan membimbing anak zaman sekarang tidaklah semudah zaman dahulu. Tentu saja gaya hidup orangtua tersebut juga berbeda khususnya bagi mereka yang mampu, dimana berbagai jenis gadget menjadi kebutuhan primer yang pasti pernah dilihat oleh anaknya. Rasa keingintahuan yang besar pasti mendorong sang anak untuk ikut memainkannya.

Lalu, bagaimana cara menghadapi fenomena ini?

Orangtua adalah teladan. Anak di bawah umur belum bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Semua pemikiran berawal dari apa yang dilihat dan dirasakan melalui kehadiran orangtua. Untuk itu, orangtua harus berusaha membangun pendidikan keluarga yang baik sedini mungkin, demi perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik anak yang maksimal. Kita tentu sering menemukan orang cerdas di zaman ini, entah di sekolah, kampus, ataupun lingkungan kerja. Namun, sebagian dari mereka mungkin ada yang berperilaku buruk atau tidak beretika. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan antara aspek kognitif dan afektif, dimana kognitif berupa kecerdasan umum, sedangkan afektif mengarah pada sikap dan emosi.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Anak zaman sekarang relatif lebih "dimanja" oleh praktisnya teknologi. Bagi mereka yang tidak mengerti, apapun bisa diakses dan dilakukan melalui internet entah yang baik atau buruk. Semakin menyelami dunia maya, secara tidak sadar dunia nyata pun ditinggalkan. Hal ini akan berdampak terhadap kemampuan komunikasi secara langsung. Contoh saja, anak yang terlalu sering bermain gadget dan tidak terbiasa mengenal lingkungan luar bertemu orang lain, bisa tumbuh menjadi anak yang pendiam, asyik sendiri, dan tidak mau diganggu. Apalagi jika orangtua tidak tanggap atas kondisi ini dan membiarkannya selama bertahun-tahun, entah karena tidak peduli atau kesibukan bekerja. Anak tersebut bisa saja memiliki daya tangkap yang cepat dari kemampuan bermain game, namun tidak memiliki etika berbicara dan emosi yang tidak stabil karena jarang diajak berbicara dari hari ke hati. Begitupun halnya di dunia maya, apapun dapat dilakukan secara bebas tanpa mengetahui apakah hal itu layak atau tidak bagi seumuran mereka.

Saya setuju dengan salah satu artikel yang terdapat pada website sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id yang menceritakan bagaimana Mona Ratuliu dan Indra Brasco membatasi anaknya dalam bermain gadget. Pada cerita itu, Mona memaparkan salah satu dampak yang diderita anaknya karena sempat kecanduan gadget:



Wanita berdarah campuran Minahasa dan Sunda ini mengakui, beberapa waktu lalu, ia dan Indra membebaskan Davina memakai smartphone. Hasilnya, Davina kerjaannya tunduk melulu melihat gadget, susah diajak ngobrol dan kewajiban-kewajibannya terbengkalai.

“Pernah keasyikan memegang gadget sampai lupa mengerjakan tugas sekolah, tidur kemalaman, kan akhirnya bisa merusak kesehatan. Sekarang saja Davina sudah pakai kacamata minus padahal orangtuanya belum ada yang pakai, “katanya.

Menghadapi hal itu, Mona hanya memperbolehkan anaknya menggunakan gadget yang bisa mengakses medsos di rumah saja jika kewajiban utama sudah diselesaikan, seperti halnya makan, mandi, dan belajar. Selebihnya, anaknya hanya diberi handphone dengan fitur menelepon dan SMS saja.

Apakah ada cara lain untuk mengatasi dampak buruk lainnya?

Tentu saja ada, bahkan caranya sangat banyak. Berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri, saya merasakan bagaimana orangtua mendidik saya agar menjadi sesosok yang bertanggungjawab baik di dalam maupun luar rumah untuk menghadapi era kekinian ini.

Kuncinya adalah komunikasi.

Komunikasi ini dapat diterapkan melalui 3 sikap utama yang perlu dimiliki orangtua. Sikap tersebut merupakan sikap yang saya simpulkan dari didikan orangtua saya selama bertahun-tahun. Menurut saya hal ini sangat simpel, namun wajib diterapkan oleh para orangtua masa kini, yaitu "Awasi, Pahami, Wadahi". Saya juga akan memaparkan bagaimana orangtua saya menerapkan 3 sikap berbasis komunikasi tersebut.

1. AWASI


Orangtua saya menerapkan sesuatu yang tidak biasa diterapkan oleh keluarga lain, yaitu tidak memberikan saya kamar pribadi untuk belajar ataupun bermain. Kamar hanya berisi tempat tidur, tidak disertai dengan meja atau kursi yang biasanya digunakan untuk belajar. Dari TK hingga SMA, seluruh lemari buku maupun perangkat komputer atau laptop berada di ruang keluarga dan ruang tamu sehingga saya pun belajar di sana. Saya dilatih untuk tetap fokus dan membagi waktu untuk belajar dan bermain dengan seimbang. Orangtua pun dapat mengawasi apa yang saya lakukan dan apa yang saya lihat. Karena sudah dibiasakan sejak kecil, saya tetap merasa nyaman karena orangtua cenderung membebaskan saya asalkan saya melakukan tanggung jawab saya dengan baik. Kebiasaan ini masih terbawa hingga saya kuliah di tahun terakhir ini walaupun sedikit berbeda. Pola belajar saya sejak kuliah berubah drastis karena bobot tugas dan materi yang jauh lebih berat, saya pun lebih sering membawa laptop ke kamar karena belajar hingga larut malam. Namun, sejauh ini saya merasa bisa menyeimbangkan tanggung jawab di rumah, kuliah, organisasi, dan menjaga lingkup pergaulan dengan baik. Hal ini tak terlepas dari pembiasaan diri untuk melakukan kegiatan positif dan menjauhi hal-hal yang berbau negatif.

Ya, didikan tersebut memang sangat jarang diterapkan oleh orangtua di rumahnya. Apapun caranya, melakukan pengawasan terhadap perilaku anak khususnya anak di bawah umur sangat dianjurkan, terutama apa yang dilihat melalui media cetak dan elektronik di rumah. Mengawasi juga dapat berupa arahan bagi sang anak untuk mengenal sesuatu yang bermanfaat, sekaligus melindungi anak dari hal-hal yang tidak layak dicontoh. Kondisi ini mungkin adalah yang paling sulit dilakukan bagi pasangan suami-istri yang sama-sama bekerja. Menurut saya, ada beberapa opsi yang bisa dilakukan diantaranya:
  • Ada baiknya untuk meminta bantuan saudara maupun asisten rumah tangga yang dipercaya untuk mengawasi secara full-time, tentunya mereka juga butuh diedukasi terlebih dahulu.  
  • Tidak menyediakan fasilitas apapun untuk terhubung ke jaringan internet demi meminimalisir akses ke dunia luar. Ketika orangtua berada di rumah, barulah jaringan diaktifkan kembali.
  • Jika memungkinkan, pemasangan kamera pengawas CCTV yang dapat dipantau melalui smartphone juga dapat membantu Anda memantau gerak-gerik anak setiap harinya.
  • Seperti didikan Mona Ratuliu, akses internet sebaiknya berada di gadget orangtua apabila masih di bawah umur, sehingga seluruh history dari browser terlacak dan seluruh jenis akun media sosial anak dapat terpantau dengan baik.
Pengawasan terhadap penggunaan gadget di era kekinian harus lebih diutamakan karena di dunia maya sangat banyak doktrin yang bertebaran dan bisa membahayakan pola pikir anak. Konten dewasa dapat diakses dengan mudah entah itu berupa gambar, video, dan sebagainya. Jika ada orangtua merasa anaknya baik-baik saja di dunia nyata, bukan berarti di dunia maya pun demikian. Ketika mencapai usia akil baligh, anak akan semakin aktif mencari tahu apa yang belum diketahuinya. Jika hal ini mulai terjadi, orangtua harus segera mengambil sikap. Tapi, bukan memarahi, melainkan ajak berkomunikasi. Tahap mengawasi sangat membutuhkan komunikasi yang dalam dari hati ke hati, karena semakin orangtua melarang atau membatasi sesuatu, ada kecenderungan anak tersebut semakin penasaran dan melanggarnya. 

Maka, sesibuk-sibuknya orangtua, biasakan komunikasi setiap hari untuk menjalin ikatan batin yang kuat dengan anak agar anak tidak merasa terintimidasi. Orangtua yang jauh dari anaknya bisa menggunakan video call atau chat

2. PAHAMI




Sejak kecil, orangtua saya tidak pernah sekalipun memaksa saya untuk belajar, namun memberikan saya pengertian secara bertahap mengenai pentingnya belajar dan membuatnya menjadi menyenangkan. Awalnya, pemikiran saya masih sangat sempit. Semasa kecil hingga SMP, saya senang belajar karena saya masih memiliki mindset bahwa dengan memperoleh nilai atau prestasi yang bagus, saya akan mendapat hadiah atau reward yang setimpal. Tapi, semenjak SMA, saya menyadari bahwa saya tidak bisa menguasai segala hal. Saya memiliki kekurangan dalam menghafal, saya cenderung menyukai penalaran analitis dan merangkai kata melalui tulisan. Sejak itu, saya mengubur dalam-dalam mimpi saya untuk menjadi dokter, yang sebenarnya juga sempat menjadi impian Ibu saya yang ingin memiliki anak seorang dokter. Namun, setelah saya menjelaskan bahwa kesempatan saya kecil untuk sukses di bidang itu, terlebih persiapan yang tidak mumpuni saat SMA, orangtua saya memahami dan tetap mendukung jalan apapun yang saya pilih. Saya sadar bahwa salah satu tujuan belajar yang sesuai dengan keinginan saya adalah agar dapat memberikan kebermanfaatan kelak bagi masyarakat di bidang yang saya senangi, bukan sekadar hadiah atau harta yang bersifat duniawi saja.

Ya, pahami apa yang menjadi minat dan bakat anak. Jangan pernah memaksakan kehendak pribadi apabila sang anak tidak suka terhadap sesuatu. Memahami kebutuhan anak zaman sekarang mungkin memang sangat sulit. Jika zaman dahulu kita ditanya ingin menjadi apa, sudah umum pertanyaan tersebut dijawab dengan kata dokter, guru, insinyur, polisi, pilot, dan sebagainya. Namun bagaimana zaman sekarang? Jangan heran apabila jawabannya lebih mengarah kepada youtuber, influencer, selebgram, dan sebagainya, karena Generasi Z dan terlebih Generasi Alpha memang sudah sangat familiar dengan internet. Situasi ini sulit diatasi, sehingga merupakan tugas orangtua untuk mengarahkan sang anak menemukan jati diri yang sebenarnya. Sesungguhnya, profesi tersebut dapat sangat bermanfaat jika konten yang disediakan mengajak kepada kebaikan. Merujuk pada hal ini, saya menyarankan orangtua perlu melakukan beberapa hal berikut:
  • Menanamkan nilai-nilai agama dan budi pekerti sejak kecil, sebagai pondasi pertama bagi anak untuk mulai memilah apa yang diperbolehkan maupun tidak dilakukan. Zaman memang akan selalu berubah, namun nilai agama dan moral akan selalu relevan di zaman apapun.
  • Menjelaskan bagaimana konten yang layak untuk dicontoh maupun tidak, serta apa yang menguntungkan dan merugikan bagi masa depan anak.
  • Menjadi pendengar yang baik dengan menerima pendapat anak, namun tetap diarahkan sedemikian rupa apabila ada pemahaman yang tidak sesuai.
Tidak berbeda dengan poin sebelumnya, komunikasi menjadi landasan agar orangtua dan anak dapat saling memahami satu sama lain. Orangtua mengerti apa yang diinginkan anak, dan anak pun juga mengerti apa yang seharusnya dia lakukan. Proses ini butuh waktu bertahun-tahun, bahkan mungkin sampai sang anak tumbuh dewasa dan memutuskan segala sesuatunya secara mandiri karena zaman akan semakin berubah, dimana opini tidak dapat disamakan seperti zaman-zaman sebelumnya. Ada banyak penyesuaian yang butuh diketahui oleh orangtua terhadap pola pikir anak-anak zaman sekarang.  

Untuk itulah, dibutuhkan pemahaman dari kedua belah pihak demi mencapai kebaikan bersama demi masa depan anak.

3. WADAHI



Orangtua saya selalu mendukung segala cita-cita saya dan berusaha untuk menemani saya di tengah-tengah kesibukan mereka. Tidak pernah ada paksaan atau larangan terhadap sesuatu yang benar-benar menjadi minat dan bakat saya. Orangtua juga selalu berusaha menghargai setiap keinginan saya meskipun tetap ada beberapa yang tidak mereka setujui, walaupun begitu pada akhirnya saya menyadari bahwa hal itu tidak baik untuk saya. Selama ini, saya merasa segala kebutuhan saya terpenuhi, khususnya selama masa menempuh pendidikan dimana saya sering mengikuti beberapa macam perlombaan dari kecil hingga sekarang. Semakin dewasa, saya tahu ketertarikan saya lebih mengarah kepada dunia literasi dan teknologi informasi. Orangtua saya sangat berbahagia terhadap keputusan saya berkuliah di jurusan Teknik Komputer sekaligus tetap menjalani hobi menulis, dimana hobi ini terkadang masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Jika suatu saat saya berkecimpung di dunia pekerjaan yang menekuni penulisan, orangtua saya pun tidak keberatan dan tetap mendukung saya meskipun bisa dikatakan jauh berbeda dengan jurusan yang telah saya jalani. Tentu saja hal ini berupa hasil diskusi dan komunikasi agar saya dan orangtua sama-sama saling mendukung dan mewadahi apa yang terbaik untuk masa depan saya.

Jika orangtua sudah memahami apa yang diinginkan anak, maka dengan kemampuan yang ada, orangtua disarankan untuk memenuhi kebutuhannya untuk bisa berkembang. Kita dapat melihat contoh seperti berikut:
  • Jika senang menggambar, maka dukunglah dengan sering membelikan peralatan menggambar dan memuji hasilnya. 
  • Jika senang menulis, maka dukunglah dengan membelikan buku untuk menuangkannya. 
  • Jika anak zaman sekarang ingin melakukan hal tersebut melalui gadget, maka manfaatkanlah aplikasi pendukung yang sudah banyak tersedia, baik secara gratis maupun berbayar.
Orangtua hendaknya mau "mengorbankan" sedikit waktunya untuk mempelajari bagaimana cara menggunakan aplikasi yang dimaksud, karena tentu saja di zaman sekarang ini tutorial menggunakan apapun banyak tersedia di internet. Menguasai teknologi adalah hal yang lumrah untuk dilakukan di era kekinian, bahkan sebaiknya orangtua harus mengikuti perkembangan anak-anak zaman sekarang. Hal ini dibutuhkan karena mendukung anak melalui wadah yang tepat akan sangat berguna bagi masa depannya, namun sebaliknya, penggunaan wadah yang salah akan menghancurkan mimpi-mimpinya kelak. 

Sekali lagi, komunikasi adalah hal terpenting untuk mengetahui apa yang dibutuhkan untuk mendidik anak dalam menjalani minat dan bakatnya tanpa salah arah.

Kesimpulannya?   

Jika 3 sikap utama tersebut dijalani dengan baik, saya yakin pendidikan keluarga di era kekinian akan sukses diterapkan. Komunikasi rutin merupakan landasan dari berbagai sikap tersebut, karena teknologi akan sangat menyita waktu dan perhatian anak. Sebagai orangtua, perhatian yang besar terhadap anak melalui 3 sikap itu akan membuat mereka tumbuh dalam kasih sayang yang sempurna. Jadikan waktu berkumpul dengan keluarga menjadi saat-saat yang dinanti oleh anak, dan bisa menyingkirkan gadget-nya untuk sementara waktu demi berinteraksi satu sama lain. Hal ini sangat penting karena jika orangtua sudah mampu berbicara dari hati ke hati dengan anak, maka mudah bagi para orangtua untuk mendidik dan membimbing anak menuju masa depan cerah melalui jalan yang benar.

Generasi yang cerdas berawal dari pendidikan keluarga yang sukses.

#sahabatkeluarga

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Pendidikan Keluarga dengan Tema: "Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan di Era Kekinian" yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 
Referensi Tulisan:

Komentar